Menilik Makna Politis dalam Penyematan Gelar Pahlawan Nasional
Poin Kunci:
- Makna pahlawan bergeser dari waktu ke waktu yang diiringi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, disamping dari berkembangnya ilmu pengetahuan.
- Polemik Soeharto sebagai pahlawan nasional mencakup bahasan tentang sejarah serta kondisi sosial-politik saat ini.
- Kelayakan tokoh tertentu menjadi pahlawan memanglah menarik, tetapi apa makna dibalik perihal itu sendiri?
| Gambar Soeharto (source : Google Arts & Culture) |
Makna Pahlawan Secara Umum ?
Pahlawan nasional secara umum merupakan gelar yang diberikan negara kepada individu atas jasanya terhadap negara. Pada masa kemerdekaan, makna pahlawan sarat dengan orang-orang yang mengangkat senjata dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan, makna tersebut bergeser menjadi individu yang menjunjung tinggi kebajikan dan memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat. Pada era modern, wacana kepahlawanan berkelindan dengan relasi kuasa, ilmu pengetahuan, dan simbol ekspresi. Persoalan-persoalan inilah yang akan dibahas pada tulisan ini.Soeharto sebagai Pahlawan Nasional
Sehubungan dengan ini, terdapat polemik di Indonesia yang menuai banyak perdebatan—yakni pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia. Ditetapkannya Soeharto sebagai pahlawan nasional dibarengi dengan penyangkalan sejarah yang memaparkan periode kelam Indonesia semasa kepemimpinannya. Seperti sumbangkasihnya terhadap pembantaian PKI, Partai Komunis Indonesia, tahun 1965 hingga tragedi Mei 1998. Pada saat yang bersamaan, narasi heroik beredar luas di ruang publik. Penulisan ulang sejarah pun dilakukan, mulai dari periode praaksara hingga masa pemerintahan saat ini. Karena itu, penyematan gelar pahlawan menjadi fenomena yang sarat akan intrik politik.
Makna Penyematan Gelar Pahlawan
Berdasarkan pendekatan Foucault, penyematan gelar ini dapat ditilik sebagai langkah politis yang memperkuat legitimasi rezim melalui produksi narasi heroik dan rekonstruksi ilmu pengetahuan. Suatu rezim memiliki kapabilitas untuk menentukan kebenaran suatu isu, serta melarang atau mengizinkan peredarannya. Hal ini tercermin dalam peristiwa pembungkaman aktivis, rumpangnya topik sejarah tertentu dalam kurikulum pendidikan, dan penyangkalan terhadap bukti-bukti peristiwa bersejarah. Isu yang dianggap mengancam stabilitas sosial dan politik suatu negara cenderung untuk ‘diluruskan’. Karena itu, narasi pembenaran diperlukan dalam proses penguatan legitimasi.
Proses legitimasi juga mencakup produksi ilmu pengetahuan, salah satunya yaitu penulisan ulang sejarah. Keinginan ini tidak datang secara mendadak dari satu pihak, melainkan keinginan kolektif sejak dulu untuk melengkapi sejarah berdasarkan temuan baru. Namun, terdapat topik-topik yang tidak dipaparkan dengan detail—misalnya peran perempuan dan sejarah Papua yang tidak disebutkan dengan detail. Hal ini memicu respons beragam, sebagian masyarakat menuntut faktualitas sejarah dan sebagian lainnya menyambut baik sejarah baru. Bilamana sejarah yang baru membungkus rezim dengan narasi positif dan heroik, secara tidak langsung meningkatkan citra positif suatu rezim sebagai pemerintahan yang dapat dipercaya dan diandalkan. Pada konteks ini, wacana belum tentu berlaku pada kepemimpinan yang berbeda.
Dari berbagai kepemimpinan, wacana berperan dalam menjaga legitimasi: Pada orde lama, wacana sebagai alat pemersatu bangsa; pada orde baru, wacana sebagai alat kontrol; sedangkan, saat reformasi wacana merupakan sarana advokasi agenda reformasi. Di sisi lain, wacana kepahlawanan dapat berfungsi sebagai stabilisasi politik. Wacana gelar pahlawan nasional ini disambut baik oleh banyak partai politik. Partai politik inilah yang menjadi pondasi stabilitas politik dalam negeri di masa kepemimpinan Prabowo. Selama sistem pemerintahan masih presidensial, otoritas terhadap wacana cenderung dikontrol oleh lembaga eksekutif. Kondisi ini membuat status politik dalam negeri tidak hanya stabil, tetapi juga memperkuat legitimasi.
Pada bahasan proses penguatan legitimasi, individu dikotak-kotakkan berdasarkan identitasnya. Mayoritas dianggap pembela stabilitas, sedangkan oposisi dicap sebagai pembelot. Wacana mayoritas dielu-elukan, sementara oposisi—seperti aktivis dan akademisi—ditolak. Hal ini mengindikasikan identitas seseorang dipersepsikan berdasarkan narasi. Persoalan ini terjadi secara masif di dalam ruang digital, seperti media sosial, dibandingkan dengan ruang fisik. Melalui media sosial dan platform digital lainnya, suara oposisi sebagai penyeimbang tak kalah nyaring. Namun, suara kelompok mayoritas jauh lebih berdampak—sehingga kelompok yang dominan ini tampak memiliki validitas epistemik.
Bagaimana, pada akhirnya, penyematan gelar pahlawan menjadi mekanisme relasi kuasa dan ilmu pengetahuan? Hal ini dicapai atas kemampuan suatu kelompok yang mampu memproduksi pengetahuan dan menetapkannya sebagai kebenaran. Ancaman internal maupun eksternal memberikan alasan yang cukup sebagai pembenaran tindakan ini. Demikian pula konstruksi identitas melalui suatu narasi atau wacana yang sejalan dengan agenda kolektif. Dapat dikatakan, bahwasanya tidak ada wacana yang netral dan akan terus berubah sepanjang perubahan terus terjadi.
Referensi
Amnesty International Indonesia. (2025, 18 September). Memahami Sejarah di Luar Sekolah: Ketika Seniman, Akademisi, dan Influencer Mengkritisi Proyek Penulisan Ulang Sejarah. Amnesty International Indonesia.
BC Indonesia. (2025, 10 November). Soeharto resmi jadi pahlawan nasional – Mengapa Prabowo menetapkannya di awal ppemerintahannya BBC Indonesia.
Tempo.co. (2025, 22 Mei). Alasan Pemerintah Buat Penulisan Ulang Sejarah Indonesia. Tempo.
Dhona, H. R. (2020). Analisis wacana Foucault dalam studi komunikasi. Journal Communication Spectrum.