Membongkar Alasan Orang Langsung Membuka HP Setelah Bangun Tidur! Terjebak Dalam Kondisi Diri yang Terikat
Poin Kunci:
- Fenomena membuka HP setelah bangun tidur dapat dijelaskan melalui konsep "Diri yang Terikat" (The Tethered Self), di mana kita "selalu aktif" sehingga tidur adalah diskoneksi paksa dan membuka HP menjadi ritual "Re-Tethering" untuk menyambung kembali ikatan
- Perilaku ini didorong oleh kebutuhan psikologis akan validasi eksternal agar perasaan kita "mapan", yang menunjukkan adanya "Diri yang Rapuh" (Fragile Self) yang menggunakan ponsel sebagai "Objek Diri" (Self Object) untuk menopang egonya.
- Diskoneksi saat tidur juga menciptakan kecemasan eksistensial yang disebut "hanyut", sehingga membuka HP di pagi hari adalah tindakan naluriah untuk meredakan perasaan "kehilangan diri sendiri".
Menurut studi tahun 2013 yang dilakukan oleh IDC Research (International Data Corporation) menemukan bahwa 4 dari 5 atau 80% orang memeriksa ponsel pintar mereka dalam 15 menit pertama setelah bangun tidur. Studi ini mensurvei lebh dari 7000 orang berusia antara 18 hingga 44 tahun yang memiki ponsel iPhone atau Android. Dari 80 persen tersebut 62 persen meraih telepon segerea setelah bangun tidur dan 44 persen meraih untuk menggunakan jam alarm.
Riset yang dilakukan pada tahun 2013 ini membuktikan bahwa fenomena bangun tidur langsung buka handphone bukanlah hal yang baru. Justru dengan adanya teknologi yang semakin maju saat ini memungkinkan kondisi tersebut lebih buruk dari tahun tahun sebelumnya. Hal ini menjadi menarik untuk ditelisik apa alasan fenomena ini terjadi di masyarakat. Dengan menggunakan studi humaniora digital dan sosiologi teknologi, fenomena ini dapat dijelaskan secara analitis dan rasional.
Terperangkap dalam Kondisi The Tethered Self (Diri yang terikat)
Dengan adanya handphone, kini kita berada dalam sebuah kondisi dimana kita secara terikat dengan handphone dalam setiap saat. Menurut Turkle, kita tidak lagi hidup dalam dunia terpissah ("online" dan "offline"). Sebaliknya, kita hidup dalam kondisi yang "selalu aktif/selalu melekat pada kita" (always on/always on us). Hal tersebut membawa banyak orang berada dalam "ruang liminal" (ruang ambang) dimana kita secara psikologis selalu terhubung dengan koneksi koneksi yang penting.
Dalam konteks fenomena ini, tidur menjadi satu satunya waktu yang memaksa orang orang untuk terputus dari ikatan dengan handphone. Singkatnya kita terpaksa untuk "offline" dari aktivitas interaksi yang dilakukan di dalam handphone.
Implikasi dari kondisi terputus sementara tersebut membuat aktivitas menggunakan handphone setelah bangun tidur seakan akan menjadi ritual menyambungkan kembali ikatan (Re-Tathering). Saking terjebaknya dalam kondisi yang terikat, manusia menjadikan membuka hp sebagai naluriah pertama menyambungkan diri kembali ke dalam dengan handphone.
Kebutuhan Akan Validasi
Keinginan manusia untuk memastikan keberadaan diri sendiri bisa tercemin melalui aktivitas membuka handphone ketika bangun tidur. Dalam era teknologi komunikasi yang "selalu tersedia", manusia dimungkinkan untuk mengembangkan pola ketergantungan yang baru dan terjaga pada orang lain. Orang orang dapat terus untuk berinteraksi dan tehubung dengan orang lain tanpa batasan waktu dan tempat.
Sebagai manusia, sudah sewajarnya untuk memiliki dan membagikan sebuah perasaan atau pikiran kepada orang lain. Ketika pikiran atau perasaan tersebut terbentuk, seseorang mungkin akan membutuhkan validasi eksternal untuk menjadi mapan. Artinya, perasaan kita akan dianggap "nyata" ketika perasaan itu diakui atau dikonfirmasi oleh orang lain.
Melalui jaringan digital yang terdapat di handphone, notifikasi, pesan, dan email yang menunggu dapat menjadi bukti eksternal atau validasi bahwa kita ada dan terhubung dengan dunia ini. Dengan demikian, adanya kecenderungan membuka handphone setalah bangun tidur menjadi bukti bahwa kita butuh validasi bahwa diri kita tetap ada dan dapat berinteraksi dengan orang lain.
Namun, validasi ekternal ini bisa jadi merupakan bentuk dari pertahanan saat manusia rentan. Dalam hal ini Turkle menjelaskan lebih dalam bahwa ketergantungan konstan pada koneksi eksternal menciptakan apa yang disebutnya sebagai "Diri yang Rapuh". Kondisi ini terjadi pada sebuah identitas yang tidak lagi memiliki kapasitas otonom atau internal untuk menampung emosinya sendiri. Dalam kondisi rapuh inilah, kita secara naluriah menggunakan ponsel dan jaringan di baliknya sebagai "Objek Diri" (Self Objects). Objek diri ini adalah fungsi yang kita gunakan untuk menopang segala keinginan dan ego kita.
Kecemasan Akibat Diskoneksi
Kondisi tanpa perangkat handphone, seperti saat tidur, dapat membuat kita merasa terputus (diskoneksi). Persaan ini lebih lanjut akan menciptakan perasaan "hanyut" dari realitas saat ini dan masa depan. Ini bukan sekedar perasaan bosan atau sepi, tetapi ini adalah perasaan adanya kecemasan secara eksistensial. Kecemasan ini diibaratkan seperti "kehilangan diri sendiri" dari berbagai interaksi yang telah dilakukan melalui hubungan antara diri kita dengan handphone.
Ketika bangun tidur, keinginan untuk menghilangkan perasaan akan kecemasan ini muncul. Maka dari itu, ini dapat menjadi penjelasan lainnya bahwa kondisi menggunakan handphone setelah bangun tidur adalah rasa untuk menghilangkan kecemasan eksistensial yang ada.
Referensi
Turkle, S. (2008). Always-on/always-on-you: The tethered self. In Social Theory Re-Wired (pp.485-495) https://doi.org/10.7551/mitpress/9780262113120.003.0010
CBS Interactive. (n.d.). Study: 80% of people grab smartphone within 15 minutes of waking. CBS News. https://www.cbsnews.com/philadelphia/news/study-80-of-people-grab-smartphone-within-15-minutes-of-waking/